11 Film Jepang Yang Dilarang Tayang di Indonesia

Film Jepang Yang Dilarang Tayang di Indonesia ini biasanya tidak bisa lulus sensor karena banyak hal yang melanggar norma kehidupan di negara indonesia. dan bahkan list film dibawah ini ada yang dilarang juga tayang dinegaranya sendiri.

ada beberapa aturan lembaga sensor setiap negara yang menyesuaikan budaya masing2 setiap negara. jika adegan melanggar Norma adat atau hukum akan ditolak.

lembaga sensor menjadi prosedur mutlak bagi negara luar yang ingin menayangkan film di indonesia

Film Jepang Yang Dilarang Tayang di Indonesia

beberapa rangkuman film jepang yang dilarang tayang bisa kamu baca dibawah ini

Battle Royale Tahun 2000

Film Jepang Yang Dilarang Tayang di Indonesia Battle Royale
tribunnewswiki.com

Film Battle Royale menarik bagi penggemar topik dystopian dengan adegan pertumpahan darah yang intens. Ceritanya sederhana: pemerintah Jepang khawatir akan kenakalan remaja, sehingga mereka menerapkan Battle Royale Act yang memaksa siswa sekolah menengah terlibat dalam pertempuran mematikan. Pilihan mereka hanya dua: menjadi korban atau pembunuh.

Meskipun Film Jepang yang dilarang Tayang di Indonesia, ia menjadi inspirasi untuk karya-karya seperti The Hunger Games dan beberapa film Hollywood lainnya dengan premis serupa. Keberanian menggali tema kontroversial dan imajinatif menghasilkan dampak mendalam dalam dunia perfilman internasional.

Prophecies of Nostradamus

Film Jepang Yang Dilarang Tayang di Indonesia Prophecies of Nostradamus
imdb.com

Film yang seperti mimpi buruk ini, terlarang tayang karena dianggap ofensif oleh kelompok antinuklir dan penyintas bom atom. LSF Jepang memberlakukan larangan penayangan setelah menerima keluhan terkait keberatan film ini terhadap jatuhnya nuklir.

Di tengah kontroversi, Profesor Nishiyama mencoba mengurai ramalan Nostradamus, mengklaim kemampuannya memprediksi masa depan. Namun, klaimnya dianggap tidak meyakinkan oleh banyak orang karena ramalan tersebut telah lama dianggap misterius dan sulit diartikan.

Meskipun dilarang, film ini menghadirkan kompleksitas pandangan terhadap ramalan kuno dan memunculkan pertanyaan-pertanyaan menarik tentang kepercayaan, ketakutan akan masa depan, dan batasan kebebasan berekspresi dalam seni. Meski ditolak oleh sebagian, upaya Profesor Nishiyama menggali makna di balik ramalan Nostradamus membuka ruang refleksi mendalam tentang bagaimana kita memandang masa depan dan pesan tersembunyi dalam teks kuno.

Emperor Tomato Ketchup

Dalam sebuah karya film pendek yang kontroversial dan Film Jepang yang dilarang Tayang di Indonesia, kita dihadapkan pada pandangan futuristik di mana anak-anak menggulingkan dominasi orang dewasa. Film karya seniman Jepang ini membawa kita ke dalam dunia tanpa narasi utama yang terdefinisi dengan jelas.

Meskipun tanpa alur cerita yang khas, pesan yang diusung mengenai keberanian anak-anak dan perlawanan terhadap otoritas menciptakan atmosfer yang memprovokasi pemikiran. Dengan visual yang menggoda dan penuh dengan simbol-simbol yang dalam, film ini menantang norma-norma dalam penyampaian cerita, memberikan kebebasan bagi penonton untuk menafsirkan maknanya sendiri.

Dalam gambaran grafis yang terkadang mencekam, film ini meretas pandangan kita tentang dunia di mana kendali atas nasib orang dewasa sepenuhnya berada di tangan anak-anak. Visualisasi kekejaman ini dapat memicu reaksi kuat, merangsang refleksi mendalam tentang hierarki kekuasaan dan kekerasan dalam masyarakat.

Dalam kerajaan mereka, hierarki kekuasaan terbalik, di mana anak-anak menjadi pemegang kendali mutlak atas nasib orang dewasa. Fenomena ini menghasilkan naratif yang meruntuhkan norma-norma sosial, memunculkan pertanyaan mendalam tentang kekuasaan, kontrol, dan dinamika kekuatan dalam suatu masyarakat yang terdistorsi.

Dengan segala kontroversinya, film ini tidak hanya mengundang kita untuk menelusuri lanskap yang tidak terduga, tetapi juga mendorong kita untuk merenung tentang pergeseran dinamika sosial yang mungkin terjadi di masa depan. Sebuah karya seni yang melampaui batas konvensional, memaksa kita untuk mempertanyakan dan meresapi esensi kekuasaan, kontrol, dan keberanian dalam masyarakat yang terus berubah.

Guinea Pig: Flower of Flesh and Blood

Film ini membawa penonton ke dalam kisah seram seorang wanita yang, setelah mengalami serangan pada larut malam, mendapati dirinya terikat di sebuah ruang bawah tanah yang penuh misteri. Melalui penggambaran ketidakamanan dan ketakutan wanita ini, film berhasil membangun atmosfer thriller psikologis yang memacu ketegangan sepanjang alur cerita.

Saat sang wanita menyadari bahwa takdirnya berada di tangan seorang samurai misterius, plot mengembangkan premis menakutkan tentang transformasinya menjadi “bunga dari darah dan daging.” Konsep yang menyeramkan ini tidak hanya memperkaya cerita dengan elemen gelap, tetapi juga menimbulkan ketidakpastian yang menegangkan.

Namun, film ini tidak lolos dari kontroversi ketika adegan pembedahan ekstrem dan grafis menggambarkan proses yang dianggap terlalu mengganggu. Keputusan lembaga sensor Jepang untuk tidak menyetujui penayangan film ini menyoroti sisi kontroversialnya yang dianggap terlalu ekstrem dan tidak pantas bagi khalayak umum.

Fumiko’s Legs

Film Jepang yang secara kontroversial menjadi Film Jepang yang dilarang Tayang di Indonesia ini, mengambil inspirasi dari novel “Fumiko no Ashi” karya Junichiro Tanizaki. Ceritanya mengikuti perjalanan Tsukakoshi, seorang lelaki tua yang terjerat dalam obsesinya terhadap seorang geisha bernama Fumiko, khususnya kecantikan kaki sang kekasih.

Premis yang unik ini membawa penonton ke dalam dunia yang kontroversial, di mana Tsukakoshi bahkan meminta seorang seniman, Unokichi, untuk mengabadikan keindahan kaki Fumiko dalam lukisan. Keseluruhan cerita membangun naratif yang mengundang pro dan kontra terkait norma-norma sosial serta obsesi yang mencapai tingkat ekstrem.

Film ini, dengan mengangkat tema-tema yang tidak lazim, tidak hanya menantang batasan-batasan seni visual, tetapi juga memicu diskusi seputar keseimbangan antara norma sosial dan kebebasan ekspresi. Dengan demikian, film ini menjadi karya yang tidak hanya memanjakan mata dengan kontroversi visual, tetapi juga mendorong penonton untuk merenung tentang kompleksitas norma dan obsesi yang tersembunyi di dalamnya.

Audition

Aoyama Shigeharu, seorang produser TV kelas menengah, menemukan dirinya terjerat dalam permainan misteri yang kelam ketika mencari pasangan hidup. Dalam upaya untuk mengatasi kesepiannya, ia terlibat dalam audisi film palsu yang mengundang sejumlah perempuan untuk menjadi calon istri potensial. Namun, pilihan Aoyama, yang jatuh pada wanita misterius bernama Asami, membuka tirai ketegangan dan intrik yang tak terduga.

Dibalik tirai drama audisi, pertemanan Aoyama dengan Yoshikawa, sahabatnya yang mencurigai Asami, menyuntikkan kecurigaan ke dalam cerita. Penyelidikan yang dilakukan Yoshikawa mengungkap kejanggalan yang mencurigakan pada masa lalu Asami, membuka pintu untuk ketegangan yang memuncak dalam suasana thriller yang intens.

Kisah ini bukan hanya sekadar tentang pencarian cinta, tetapi juga tentang lapisan-lapisan misteri yang melibatkan karakter-karakter utama. Dengan jalinan tragis dan intrik yang terungkap, film ini mempersembahkan pengalaman yang menggugah pikiran, memanfaatkan unsur ketegangan untuk menciptakan narasi yang mendalam dan tak terlupakan.

Grotesque

Dalam film yang mengeksplorasi kengerian dan teror yang tanpa ampun, Aki, seorang gadis muda cantik, tanpa sadar terperangkap dalam kehadiran menakutkan seorang penguntit ketika ia menunggu kedatangan Kazuo di sebuah kedai kopi. Apa yang dimulai sebagai pertemuan yang tampaknya biasa berubah menjadi pengalaman yang mengerikan, ketika penguntit tanpa ampun mengikuti mereka, memicu kejadian yang menggetarkan.

Seketika, Kazuo dan Aki mendapati diri mereka terperangkap dalam kegelapan, terikat dan disumpal, tanpa memahami bagaimana mereka sampai ke sana. Adegan kebrutalan dan terror yang menyertai, termasuk momen eksplisit, membawa film “Grotesque” pada tingkat ketegangan yang ekstrim, sehingga menyebabkan larangan penayangan di Inggris.

Dalam keangkeran cerita ini, penonton dihadapkan pada kenyataan kejam yang menghantui, menciptakan pengalaman yang mengguncang dan tak terlupakan. Meskipun dilarang, film ini menandai dirinya sebagai karya yang mengeksplorasi batas-batas ketegangan psikologis dan visual, mempertanyakan kemanusiaan dalam situasi yang ekstrem dan menantang batas-batas seni horor modern.

Lost Paradise

Film “Lost Paradise,” karya Yoshimitsu Morita, merilis kontroversi pada 10 Mei 1997 dengan larangan tayang di Indonesia. Film ini, mengisahkan cinta tragis penata huruf dan editor, dihadapkan pada keputusan keras pemerintah yang menegaskan kebijakan ketat terhadap konten yang dianggap melanggar norma dan etika di Indonesia.

Larangan ini memunculkan pertanyaan tentang batasan seni dan kebebasan berekspresi di dalam negeri. Artikel ini akan menggali lebih dalam dampak larangan terhadap industri film di Indonesia, sambil menyoroti kompleksitas melindungi nilai-nilai budaya sambil memberikan ruang bagi seniman untuk mengeksplorasi dan menyampaikan karya mereka.

In the Realm of the Senses

In the Realm of the Senses menghadirkan kisah cinta yang provokatif dan terus mempertahankan status kontroversialnya, menolak tayang hingga saat ini. Sutradara Nagisa Oshima membawa penonton pada perjalanan yang intens, terinspirasi dari kejadian nyata, dan menampilkan obsesi cinta yang merusak antara Tatsuya Fuji dan Eiko Matsuda.

Dengan latar belakang era imperialisme Jepang pra-perang, di mana kendali pemerintah begitu kuat, film ini mempersembahkan cerita dengan adegan grafis dan eksplisit yang secara tegas menantang kenyamanan penonton. “In the Realm of the Senses” bukan hanya karya seni visual yang mencengangkan, tetapi juga menjadi terobosan berani dalam sejarah perfilman, terus menghadapi sensor di tanah airnya, dan menorehkan namanya sebagai salah satu karya paling kontroversial.

Dalam eksplorasi cinta yang mendalam ini, Film Jepang yang dilarang Tayang di Indonesia ini tidak hanya meresapi intensitas hubungan antara pria dan wanita, tetapi juga mempertanyakan batas-batas seni dalam menggambarkan keintiman manusia. Sebagai karya yang menantang, “In the Realm of the Senses” tetap menjadi fenomena kontroversial yang mengguncang dunia perfilman, menghadirkan pertanyaan tentang keberanian seniman dan sejauh mana sebuah karya dapat mengeksplorasi keintiman manusia dengan jujur dan provokatif.

Mishima: A Life in Four Chapters

Film yang menampilkan Ken Ogata, “Mishima: A Life in Four Chapters,” terus berada di bawah bayang-bayang larangan tayang, menjadi salah satu judul Jepang yang konsisten dilarang. Namun, jangan biarkan larangan tersebut mengaburkan keindahan dan kedalaman yang tersimpan dalam karya ini. Film ini tidak hanya sebuah tantangan terhadap norma-norma, tetapi juga sebuah perjalanan yang pasti akan menggugah pemikiran penontonnya.

Dengan skenario yang kuat dan dukungan akting luar biasa dari Ken Ogata, film ini menyajikan pengalaman sinematik yang patut diakui. Bagi mereka yang tertarik dengan perbedaan antara seni dan kehidupan, tindakan dan kata-kata, “Mishima: A Life in Four Chapters” merambah kedalaman dikotomi tersebut dengan keindahan yang unik, menciptakan sebuah karya seni yang memikat.

Meskipun dilarang untuk ditonton oleh anak-anak, larangan tersebut mungkin justru menambah daya tariknya bagi penonton yang mencari pengalaman sinematik yang lebih kompleks. Film ini membawa kita melalui perjalanan visual dan emosional yang mendalam, memicu refleksi tentang keberanian seniman dalam menghadapi batasan serta sejauh mana seni dapat memprovokasi dan mempertanyakan. “Mishima: A Life in Four Chapters” bukan hanya film yang dilarang, tetapi juga karya yang menantang dan mendalam, menorehkan tanda dalam sejarah perfilman Jepang.

Secon Virgin

Film Jepang yang dilarang Tayang di Indonesia berjudul Rui Nakamura, seorang single parent karier berusia 45 tahun, menemukan perubahan hidup melalui kisah cinta dengan Kou Suzuki, pria jenius berusia 28 tahun. Film ini, berfokus pada perkembangan hubungan mereka, menawarkan dinamika emosional yang menarik, namun perlu dicatat bahwa karya ini bukan untuk konsumsi anak-anak.

Dalam panorama film Jepang yang melanggar aturan tayang, terdapat beragam genre mulai dari seram hingga vulgar. Namun, perlu ditekankan bahwa film-film ini hanya sesuai untuk penonton dewasa. Melalui artikel ini, kita akan menjelajahi kisah dewasa yang menarik dalam film Jepang, menggali pesona dan kompleksitas hubungan antara karakter-karakter yang berada di tengah-tengah kisah yang penuh perubahan dan intrik.

Penutup

Berikut ini list Film Jepang Yang Dilarang Tayang di Indonesia, Bagi kamu yang dibawah umur jangan pernah nonton film ini. karena memang sangat menyeramkan untuk ditonton apalagi sendirian, hmm.

Tinggalkan komentar